Ceritaku, Bagaimana Rasanya Menjadi Orang Miskin
Hallo, perkenalkan namaku Mamat. Ibuku diceraikan sama Bapak dan diusir dari rumah tanpa bawa bekal apa-apa. Waktu itu aku memilih menemani Beliau (Ibu), sementara kakak perempuan memilih hidup sama Bapak.
Setelah terusir dari rumah, kami sempat terlunta-lunta di jalanan. Akan tetapi masih Bersyukur Alhamdulillah sempat tidur di teras masjid, pos kamling, teras toko dan beberapa kali dapat izin tidur di teras sekolah dengan catatan waktu subuh harus sudah pergi.
Pada kondisi itu, Alhamdulillah kami merasakan nikmatnya bisa makan dari mencari di tempat sampah dan bisa minum dari segarnya air keran di tempat wudhu yang ada di Masjid. Karena tidak punya baju ganti, hidung ini tidak peka lagi sama bau badan kami di masa itu. Tiap papasan dengan orang-orang, mereka menutup hidungnya.
Kondisi kami yang seperti itu, Alhamdulillah, Allah selamatkan dengan hadirnya seorang perempuan yang sangat baik hati. Beliau menjadikan Ibu sebagai buruh tani dan memberikan rumah sebagai tempat tinggal.
Rumah yang jadi tempat tinggal kami mirip dengan kandang kambing. Dinding masih dari bedek dan alas dari tanah. Walaupun begitu Alhamdulillah, rumahku surgaku.
Sejak pindah ke lingkungan itu, kami adalah warga paling miskin yang ada di kampung. Setiap bulan Ramadhan, mayoritas warga memberikan zakat fitrah kepada kami. Sejak SD sampai SMA, aku menjadi salah satu siswa paling miskin diantara teman-teman satu angkatan lainnya.
Tiap beberapa bulan sekali, ada guru-guru yang berkunjung ke rumah untuk memberi bantuan berupa sembako, buku dan pakaian. Aku juga dapat lungsuran seragam, sepatu, tas dan buku pelajaran dari kakak kelas.
Aku berangkat sekolah sejak jam 5 pagi karena harus jalan kaki. Meski berangkat sepagi itu, aku dan dua sahabat karib yaitu Aris dan Anto beberapa kali masih sering terlambat.
Karena kondisi ekonomi yang masih serba kekurangan, cita-cita aku sangat sederhana. Waktu SD, semoga bisa lulus SD. Waktu SMP, semoga bisa lulus SMP. Waktu SMA, semoga bisa lulus SMA. Itu saja.
Bisa menonton TV adalah kebahagiaan tersendiri bagiku dan Ibu. Alhamdulillah dulu bisa nonton TV di rumah tetangga karena kami tidak punya TV. Kami bisa makan daging hanya di momen Idul Adha serta saat tetangga selenggarakan hajatan.
Aku paling takut jadi anak nakal dan salah pergaulan. Sebab selalu ingat dawuh dari Ibu. “Anak orang kaya kalau nakal, masih ada orang tua yang bisa kasih fasilitas dia mau pindah ke sekolah mana saja. Dia gak mau sekolah pun, orang tuanya masih bisa kasih modal usaha. Kita sadar diri aja ya Mat”. Kita tidak punya rencana cadangan, jadi jangan nakal dan salah pergaulan.
Waktu libur sekolah, aku sering gunakan waktu liburan untuk belajar cari uang sendiri. Ibu selalu mengingatkan jangan jadi orang gengsi tinggi, maka dari itu aku belajar kerja apa saja yang penting halal.
Mulai dari kuli bangunan, kuli panggul di pasar, tukang kebun, tukang cuci motor dan mobil, buruh tani, jaga wartel sampai buruh mencuci dan menggosok pernah aku lakukan demi mengisi waktu libur sekolah.
Dan sejak SD sampai SMA, aku tidak pernah merasakan cukur di pangkas rambut apalagi salon seperti teman- teman lainnya. Ibu yang rutin memotong rambut aku sejak dulu. Aku baru merasakan cukur di pangkas rambut saat kuliah.
Demi bisa berangkat kuliah ke Depok, aku dapat tumpangan dari tetangga yang mau antar ikan laut ke pasar yang ada di Jabodetabek.
Sempat makan ajinomoto campur nasi selama tinggal di kost. Karena kasihan, aku dapat kesempatan oleh pemilik kost sebagai petugas kebersihan. Rutinitas aku sebelum dan sesudah kuliah ialah nyapu, ngepel, cabutin rumput, merawat tanaman dan selalu siap sedia apabila area kost ada yang rusak maupun butuh perawatan ekstra.
Untuk menambah penghasilan, aku juga membuka jasa cuci baju dan setrika bagi teman-teman mahasiswa di masa itu. Aku baru bisa makan di McDonald's dan KFC setelah lulus kuliah. Ibu Alhamdulillah dapat rezeki dan ajak aku makan ke 2 tempat itu.
Aku baru merasakan naik kereta setelah wisuda S1 dulu. Naiknya berdua ditemani oleh Ibu untuk pulang ke kampung halaman.
Tiap sowan ke rumah guru dan dosen semasa S1, entah kenapa mereka selalu menangis melihat aku. Aku berhutang budi banyak kepada mereka, semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan nggih.
Seiring berjalannya waktu, Alhamdulillah kami bisa keluar dari kemiskinan berkat usaha dan kerja keras dari Ibu. Prosesnya memang panjang dan butuh waktu belasan tahun, tapi itu skenario terbaik dari Gusti Allah.
Penutup
Itulah cerita aku, gimana rasanya menjadi orang miskin. Makanya bagi kalian yang masih memiliki orang tua yang utuh dan fasilitas tercukupi, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Jujur menjadi miskin itu gak enak teman-teman, buat kalian yang masih berjuang dari titik Nol tetap semangat menjalani hidup.
Ingat, selama tubuh masih diberi kesehatan janganlah gengsi, kerja apa saja asal halal lakukan dengan tulus. Jangan malas, kecuali Anda mau tetap miskin lho ya.
Baiklah, itu saja cerita dariku semoga bisa menggugah semangat kalian semua.