Cinta Sang Malaikat Terkasih, Emak
“Sungguh hari yang melelahkan” keluhku seraya berjalan di atas aspalan rusak pedesaan. Sudah berjalan begitu jauh, namun yang aku impikan belum kesampaian juga. Aku membayangkan wajah emak yang pastinya tetap teduh mendengar kabar kekecewaan ini.
Di depan sana, kulihat mata emak bersinar menunggu menunggu kabar yang begitu ia harapkan namun belum bisa kuwujudkan. Aku mendekat, wajahku lesu, aku yakin emak sudah tau bahwa putrinya gagal lagi.
Untuk yang kesekian kalinya aku gagal lagi Mak… Aku masih belum bisa membahagiakan emak. “Maaf mak, jerih payah emak selama ini menyekolahkan aku hingga sarjana belum mampu kubalas, maafkan anakmu yang tidak berguna ini, mak” ucapku pada emak sambil berlutut di kakinya.
Aku tak berani memandang wajah wanita berusia 56 tahun itu, aku hanya mampu melihat kakinya yang tanpa alas dengan kapal-kapal matang yang membuat kakinya tak sama sekali indah dipandang, dengan jarik batik coklat andalannya. Kaki yang tak sama sekali indah dipandang itu, kaki yang berjalan kesana kemari mengambil baju kotor tetangga, kaki yang berjalan mengambil biji kopi yang berjatuhan di lahan tetangga, bukan mencuri, tapi memang sudah dipersilahkan untuk memunguti kopi yang sudah berjatuhan dan banyak yang busuk.
Karna kaki ini, aku bisa sekolah tinggi, karna kaki ini aku bisa hidup sampai sekarang. Air mataku tak bisa kubendung, menetes dan membasahi kaki emak. Emak ikut berlutut, mengusap air mataku, memelukku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Kegagalan itu biasa, nduk… kamu tidak boleh menyerah pada kegagalan. Kamu tidak boleh menyerah nduk, lihatlah ayam itu, mencari-cari makan, mengais-ngais tanah untuk memenuhi kebutuhan perutnya untuk bisa melanjutkan hidupnya. Dia tidak menyerah, ambillah pelajaran dari si ayam itu nduk… kamu itu putri emak satu-satunya, harapan emak yang paling besar, jadi jangan pernah putus asa. Do’a emak selalu menyertai setiap langkah hidupmu nduk… “
Lalu emak mengecup keningku dan mengajakku masuk ke dalam rumah kontrakan kami. “Emak tahu kamu lapar, makanya emak tadi sudah masak buntil kesukaanmu”. Seraya tersenym padaku dan berlalu mengambilkan piring untukku. Terima kasih, mak… setiap senyum dan belaiannya selalu bisa membuat duniaku yang sempit menjadi begitu luas.
"Mak besok aku akan mencari pekerjaan lagi, emak do’akan aku ya, supaya Allah beri kemudahan untuk anak emak ini…" Mataku memandang emak penuh binar permohonan. Kecupan emak mendarat kembali di kepalaku. Tanda ridho emak sudah ada di tanganku, aku optimos besok aku tidak akan gagal lagi.
Keesokan harinya, aku berangkat saat masih petang, tepat setelah aku dan emak selesai sholat subuh. Emak membawakan aku ubi yang semalam emak rebus di atas tunggu pawon yang membuat tidurku tak begitu nyenyak karna asapnya kemana-mana.
Emak selalu ingat membawakan aku bekal. Meski bukan ayam goreng atau telur dadar yang lezat, meski hanya ubi yang ketika dimakan akan menimbulkan “keseretan” kalau tidak dibersamakan dengan minum. Ya, tapi meskipun begitu, aku bersyukur sebab meski sesederhana ini, Allah masih memberiku satu malaikat yang terus setia menggenggamku di saat-saat sulit begini, emak.
Aku berfikir aku akan ke pusat kota. Aku akan melamar pekerjaan disana. Oh iya, aku lulusan akutansi, jadi aku pastinya bisa dong melamar di bank. Aku berjalan terus menuju bank tempat aku ingin melabuhkan segala harapan disana. Kemarin aku ditolak, sekarang harus diterima.
Sepanjang jalan mulutku terus komat-kamit melafadzkan dzikir, kupikir aku harus merayu Allah, siapa tau nanti aku diterima kerja. Aku berhenti sebentar, duduk dan “ngadem” dibawah rindangnya pohon nangka di persimpangan jalan.
Beberapa kali ada angkot lewat, sebenarnya aku lelah sudah berjalan sekitar 2 kilometer. Tapi aku cuma punya uang Rp 10.000, siapa tahu nanti aku butuh uang itu, jadi ku urungkan niatku untuk menyambung jalanku dengan angkot.
Aku melanjutkan perjalanan, sambil kubawa wajah teduh emak dalam bayanganku. "Ahh, akhirnya sampai juga… Alhamdulillah Ya Allah…" lalu kulangkahkan kakiku perlahan masuk kedalam gedung bertingkat itu. Mmm… sejuknya di dalam sini. Aku merasakan udara AC yang mampu mengobati kegerahanku di jalanan tadi.
Aku bertanya pada wanita berpenampilan rapi dan cantik dengan rambut yang tergerai panjang dan sedikit diblow bagian bawahnya. Berbeda sekali dengan penampilanku yang hanya berkemeja putih, celana jeans hitam bekas tetangga dan jilbab biru muda yang jarang kuseterika.
“Mbak, saya mau melamar pekerjaan”. Bisa tunjukkan persyaratannya, mbak? Jawabnya dengan tatapan yang sangat tidak kusukai. Aku menyerahkan persyaratan yang dibutuhkan, dan aku disuruh menunggu sebentar. Sebentar yang kuyakini lebih dari satu jam. Ahh… aku harus sabar, anggap saja ini sebagai penantian terakhir sebagai pengangguran yang melarat.
“Mbak Syifa, silahkan masuk keruangan sebelah”. Akhirnya, dipanggil juga, aku masuk kedalam sebuah ruangan. Nampak seorang lelaki duduk disana.
“Permisi…” sambil mengetuk kaca pintu. Yaa, masuk” Setelah masuk dan dipersilahkan duduk, aku merasa semacam dininterogasi. Untung aku berhasil menjawab semuanya dengan baik. Hingga aku disalami dan dinyatakan diterima bekerja. Masya Allah tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Sang pemberi Rizki, aku sudah tak sabar memberi kabar ini pada emak.
Uang Rp 10.000 yang aku bawa akhirnya aku gunakan untuk membayar angkot sampi di perempatan jalan menuju rumahku, angkotnya menurunkan aku disitu. Aku berlari penuh girang, tawaku tak bisa aku sembunyikan. Wajah lesu yang kemarin aku tampilkan sekarang aku buang jauh-jauh. Aku bahagia, tidak sabar ingin melihat tawa emak.
Emaaaak...! Dari ujung jalan aku sudah melihat emak menantiku dengan wajah cemas, was-was, aku langsung memeluk emak. Aku bersujud di kaki emak dengan derasan tangis bahagia. Emak mengangkat bahuku.
“Bangunlah nduk, bangun… Ada apa?” Sambil kuciumi punggung tangan emak yang kering itu, aku katakana “Mak, putrimu ini akan membuatmu bangga. Aku diterima bekerja di bank. Emak tidak usah lagi mencucikan baju tetangga, tidak perlu lagi memunguti biji-biji kopi di lahan orang, emak di rumah saja. Biar aku yang bekerja ya mak…”
"Aku rasa emak begitu bahagia". Emak menangis dan memelukku seraya terus menciumi pipiku.
“Emak tidak bisa berkata apa-apa” emak bahagia, akhirnya anak emak bisa menggapai mimpinya, anak emak akan bekerja kantoran. Emak bangga nduk… Emak bangga.
Alhamdulillah duh Gusti, Engkau kabulkan Do’a-do’aku, Engkau berikan anakku jalan untuk membahagiakan emaknya. Ridhoilah setiap langkah yang ditempuh anakku Yaa Gusti Rabbi…”
Aku terus mengucapkan syukur sedalam-dalamnya, disini aku diberi hikmah, aku mengerti satu hal bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuan hambanya. Dan saat pintu rizki yang satu tertutup, maka masih ada begitu banyak pintu yang terbuka lebar.
Terima kasih YaAllah, untuk rizkimu, untuk emak yang kau hadiahkan dalam hidupku, Emak.. terima kasih untuk segala do’a yang selalu kau langitkan untuk memudahkanku…
"Terima kasih Mak… engkau bagaikan malaikat tanpa sayap yang tak pernah mengeluh".
Selesai. 🙂
Karya : Siti Ma'rifatuss
Di depan sana, kulihat mata emak bersinar menunggu menunggu kabar yang begitu ia harapkan namun belum bisa kuwujudkan. Aku mendekat, wajahku lesu, aku yakin emak sudah tau bahwa putrinya gagal lagi.
Untuk yang kesekian kalinya aku gagal lagi Mak… Aku masih belum bisa membahagiakan emak. “Maaf mak, jerih payah emak selama ini menyekolahkan aku hingga sarjana belum mampu kubalas, maafkan anakmu yang tidak berguna ini, mak” ucapku pada emak sambil berlutut di kakinya.
Aku tak berani memandang wajah wanita berusia 56 tahun itu, aku hanya mampu melihat kakinya yang tanpa alas dengan kapal-kapal matang yang membuat kakinya tak sama sekali indah dipandang, dengan jarik batik coklat andalannya. Kaki yang tak sama sekali indah dipandang itu, kaki yang berjalan kesana kemari mengambil baju kotor tetangga, kaki yang berjalan mengambil biji kopi yang berjatuhan di lahan tetangga, bukan mencuri, tapi memang sudah dipersilahkan untuk memunguti kopi yang sudah berjatuhan dan banyak yang busuk.
Karna kaki ini, aku bisa sekolah tinggi, karna kaki ini aku bisa hidup sampai sekarang. Air mataku tak bisa kubendung, menetes dan membasahi kaki emak. Emak ikut berlutut, mengusap air mataku, memelukku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Kegagalan itu biasa, nduk… kamu tidak boleh menyerah pada kegagalan. Kamu tidak boleh menyerah nduk, lihatlah ayam itu, mencari-cari makan, mengais-ngais tanah untuk memenuhi kebutuhan perutnya untuk bisa melanjutkan hidupnya. Dia tidak menyerah, ambillah pelajaran dari si ayam itu nduk… kamu itu putri emak satu-satunya, harapan emak yang paling besar, jadi jangan pernah putus asa. Do’a emak selalu menyertai setiap langkah hidupmu nduk… “
Lalu emak mengecup keningku dan mengajakku masuk ke dalam rumah kontrakan kami. “Emak tahu kamu lapar, makanya emak tadi sudah masak buntil kesukaanmu”. Seraya tersenym padaku dan berlalu mengambilkan piring untukku. Terima kasih, mak… setiap senyum dan belaiannya selalu bisa membuat duniaku yang sempit menjadi begitu luas.
"Mak besok aku akan mencari pekerjaan lagi, emak do’akan aku ya, supaya Allah beri kemudahan untuk anak emak ini…" Mataku memandang emak penuh binar permohonan. Kecupan emak mendarat kembali di kepalaku. Tanda ridho emak sudah ada di tanganku, aku optimos besok aku tidak akan gagal lagi.
Keesokan harinya, aku berangkat saat masih petang, tepat setelah aku dan emak selesai sholat subuh. Emak membawakan aku ubi yang semalam emak rebus di atas tunggu pawon yang membuat tidurku tak begitu nyenyak karna asapnya kemana-mana.
Emak selalu ingat membawakan aku bekal. Meski bukan ayam goreng atau telur dadar yang lezat, meski hanya ubi yang ketika dimakan akan menimbulkan “keseretan” kalau tidak dibersamakan dengan minum. Ya, tapi meskipun begitu, aku bersyukur sebab meski sesederhana ini, Allah masih memberiku satu malaikat yang terus setia menggenggamku di saat-saat sulit begini, emak.
Aku berfikir aku akan ke pusat kota. Aku akan melamar pekerjaan disana. Oh iya, aku lulusan akutansi, jadi aku pastinya bisa dong melamar di bank. Aku berjalan terus menuju bank tempat aku ingin melabuhkan segala harapan disana. Kemarin aku ditolak, sekarang harus diterima.
Sepanjang jalan mulutku terus komat-kamit melafadzkan dzikir, kupikir aku harus merayu Allah, siapa tau nanti aku diterima kerja. Aku berhenti sebentar, duduk dan “ngadem” dibawah rindangnya pohon nangka di persimpangan jalan.
Beberapa kali ada angkot lewat, sebenarnya aku lelah sudah berjalan sekitar 2 kilometer. Tapi aku cuma punya uang Rp 10.000, siapa tahu nanti aku butuh uang itu, jadi ku urungkan niatku untuk menyambung jalanku dengan angkot.
Aku melanjutkan perjalanan, sambil kubawa wajah teduh emak dalam bayanganku. "Ahh, akhirnya sampai juga… Alhamdulillah Ya Allah…" lalu kulangkahkan kakiku perlahan masuk kedalam gedung bertingkat itu. Mmm… sejuknya di dalam sini. Aku merasakan udara AC yang mampu mengobati kegerahanku di jalanan tadi.
Aku bertanya pada wanita berpenampilan rapi dan cantik dengan rambut yang tergerai panjang dan sedikit diblow bagian bawahnya. Berbeda sekali dengan penampilanku yang hanya berkemeja putih, celana jeans hitam bekas tetangga dan jilbab biru muda yang jarang kuseterika.
“Mbak, saya mau melamar pekerjaan”. Bisa tunjukkan persyaratannya, mbak? Jawabnya dengan tatapan yang sangat tidak kusukai. Aku menyerahkan persyaratan yang dibutuhkan, dan aku disuruh menunggu sebentar. Sebentar yang kuyakini lebih dari satu jam. Ahh… aku harus sabar, anggap saja ini sebagai penantian terakhir sebagai pengangguran yang melarat.
“Mbak Syifa, silahkan masuk keruangan sebelah”. Akhirnya, dipanggil juga, aku masuk kedalam sebuah ruangan. Nampak seorang lelaki duduk disana.
“Permisi…” sambil mengetuk kaca pintu. Yaa, masuk” Setelah masuk dan dipersilahkan duduk, aku merasa semacam dininterogasi. Untung aku berhasil menjawab semuanya dengan baik. Hingga aku disalami dan dinyatakan diterima bekerja. Masya Allah tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Sang pemberi Rizki, aku sudah tak sabar memberi kabar ini pada emak.
Uang Rp 10.000 yang aku bawa akhirnya aku gunakan untuk membayar angkot sampi di perempatan jalan menuju rumahku, angkotnya menurunkan aku disitu. Aku berlari penuh girang, tawaku tak bisa aku sembunyikan. Wajah lesu yang kemarin aku tampilkan sekarang aku buang jauh-jauh. Aku bahagia, tidak sabar ingin melihat tawa emak.
Emaaaak...! Dari ujung jalan aku sudah melihat emak menantiku dengan wajah cemas, was-was, aku langsung memeluk emak. Aku bersujud di kaki emak dengan derasan tangis bahagia. Emak mengangkat bahuku.
“Bangunlah nduk, bangun… Ada apa?” Sambil kuciumi punggung tangan emak yang kering itu, aku katakana “Mak, putrimu ini akan membuatmu bangga. Aku diterima bekerja di bank. Emak tidak usah lagi mencucikan baju tetangga, tidak perlu lagi memunguti biji-biji kopi di lahan orang, emak di rumah saja. Biar aku yang bekerja ya mak…”
"Aku rasa emak begitu bahagia". Emak menangis dan memelukku seraya terus menciumi pipiku.
“Emak tidak bisa berkata apa-apa” emak bahagia, akhirnya anak emak bisa menggapai mimpinya, anak emak akan bekerja kantoran. Emak bangga nduk… Emak bangga.
Alhamdulillah duh Gusti, Engkau kabulkan Do’a-do’aku, Engkau berikan anakku jalan untuk membahagiakan emaknya. Ridhoilah setiap langkah yang ditempuh anakku Yaa Gusti Rabbi…”
Aku terus mengucapkan syukur sedalam-dalamnya, disini aku diberi hikmah, aku mengerti satu hal bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuan hambanya. Dan saat pintu rizki yang satu tertutup, maka masih ada begitu banyak pintu yang terbuka lebar.
Terima kasih YaAllah, untuk rizkimu, untuk emak yang kau hadiahkan dalam hidupku, Emak.. terima kasih untuk segala do’a yang selalu kau langitkan untuk memudahkanku…
"Terima kasih Mak… engkau bagaikan malaikat tanpa sayap yang tak pernah mengeluh".
Selesai. 🙂
Karya : Siti Ma'rifatuss